Hadhroh pertama kali di perkenalkan oleh seorang tokoh tasawuf yang
sampai sekarang karya – karyanya masih di perbincangkan oleh pakar –
pakar serta sarjana – sarjana di dunia timur maupun barat, beliau adalah
Jalaluddin Rumi Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun
panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini
Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma). Lahir di Balkh,
Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207, Fariduddin Attar, seorang
tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun
pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual
besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin itu tidak meleset.
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar
bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu
agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar
itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun
melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang
penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk
keluarganya. Ketika itu Rumi baru beruisa lima tahun.Sejak itu
Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara
ke negara lain.
Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur
pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan
terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad,
mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya
sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota
tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin
Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan.
Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru
kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya.
Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga
menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh
ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan
tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia. Kesufian dan
kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun.
Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang
mempunyai murid sebanyak 4.000 orang. Sebagaimana layaknya seorang
ulama, ia juga memberi fatwa dan menjadi tumpuan ummat untuk bertanya
dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat
ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin/Syamsi
Tabriz. Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak
dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki
asing—yakni Syamsi Tabriz—ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan
riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima.
Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu
menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul
beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi.
Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz.
Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari. Sultan walad,
putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang
guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru
besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan
zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu
melihat kandungan ilmu yang tiada taranya. ”Rumi benar-benar tunduk
kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma
celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya
banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang
keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan
dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya. Bak remaja
ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian
Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar berduka. Ia
hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar.
Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi.
Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit
kembali. Dan ia mulai mengajar lagi. Beberapa saat kemudian ia mengutus
putranya, Sultan walad untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya
tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas
tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila
berkenan kembali ke Konya. Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz
kembali ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan
Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali,
dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz.
Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi,
lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke
Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi. Rumi telah menjadi sufi, berkat
pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk
berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan
emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna
mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang
himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia
bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama
Maqalat-i Syams Tabriz. Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber
inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan
sahabatnya itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya
menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar