Minggu, 16 Juni 2013


hadroh habib syech :)


1 Set Hadroh habib syech atau hadroh lengkap terdiri dari:
- 4 Rebana Hadroh super
- 4 Rebana Kepak
- 1 Set Bass
- 1 Rebana Tung
- 1 Kendang TumbukHadroh Habib Syech

mantep nihh broo !!!

Haqiqah
Yaitu sampainya seseorang yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. di depan pintu gerbang kota tujuan, yaitu tersingkapnya hijab-hijab pada pandangan hati seorang salik (hamba yang mengadakan pengembaraan batin) sehigga dia mengerti dan menyadari sepenuhnya Hakekat dirinya selaku seorang hamba didepan TuhanNya selaku Al Kholiq Swt. bertolak dari kesadaran inilah, ibadah seorang hamba pada lefel ini menjadi berbeda dengan ibadah orang kebanyakan. Kebanyakan manusia beribadah bukan karena Allah SWT, tapi justru karena adanya target target hajat duniawi yang ingin mereka dapatkan, ada juga yang lebih baik sedikit niatnya, yaitu mereka yang mempunyai target hajat hajat ukhrawi (pahala akhirat) dengan kesenangan surgawi yang kekal.
Sedangkan golongan Muhaqqiqqiin tidak seperti itu, mereka beribadah dengan niat semata mata karena Allah SWT, sebagai hamba yang baik mereka senantiasa menservis majikan / tuannya dengan sepenuh hati dan kemampuan, tanpa ada harapan akan gaji / pahala. Yang terpenting baginya adalah ampunan dan keridhaan Tuhannya semata. Jadi tujuan mereka adalah Allah SWT bukan benda benda dunia termasuk surga sebagaimana tujuan ibadah orang kebanyakan tersebut diatas.

Arti Makrifat Menurut Imam Al-Ghazali

Walaupun tahap akhir dari perjalanan rohani kaum sufi masih menjadi perdebatan, namun makrifat sebagai konsep dan sebagai tahap atau maqom yang lebih dikenal luas di kalangan penganut sufi ketimbang pemeluk Islam awam atau ulama.

Sebagai tahapan rohani makrifat mendasari kemampuan-kemampuan rohani berikut dan sebagai tindakan ia menjadi jalan untuk memperoleh pengetahuan dan memahami realitas diri atau alam dan masyarakat.

Dari sini pula kemampuan makrifat dihubungkan dengan hampir semua tahap rohani sufistik hingga pencapaian ittihad (Kesatuan manusia - Tuhan) dan suatu pencapaian kasaampurnaan yang dikenal sebagai Insan Kamil atau manusia sempurna.

Makrifat berarti pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang bagi umumnya kaum sufi merupzkan pemerian dan rahmat dari Allah SWT sebagai suatu kemampuan mengetahui dan melihat Allah SWT dari dekat tanpa perantara nama atau sifat-sifat Tuhan tu sendiri.

Ini pula yang dinyatakan oleh Syekh Siti Jenar bahwa penyebutan nama-nama atau sifat-sifat Tuhan sebagai petunjuk belum sepurnanya ilmu seseorang, karena nama dan sifat bukanlah Dzat-Nya.
Definisi dan Arti Thorîqoh
Oleh: Naufal bin Muhammad Alaydrus
Secara bahasa tharîqah (tarekat) dapat berarti jalan, metode, sistem, cara, perjalanan, aturan hidup, lintasan, garis, pemimpin sebuah suku dan sarana.
Tharîqah dalam arti jalan, dapat kita temukan di dalam beberapa ayat Al-Qurân, di antaranya adalah wahyu Allâh berikut:
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ َلأَسْقَيْنَاهُمْ مَآءً غَدَقًا
Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). (Al-Jin, 72:16)
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُوْنَ وَمِنَّا دُوْنَ ذلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا
Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda. (Al-Jin, 72:11)
نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَقُوْلُوْنَ إِذْ يَقُوْلُ أَمْثَلُهُمْ طَرِيْقَةً إِنْ لَبِثْتُمْ إِلاَّ يَوْمًا
Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka: “Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sehari saja”. (Thâhâ, 20:104)
وَلَقَدْ خَلَقْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعَ طَرَائِقَ وَمَا كُنَّا عَنِ الْخَلْقِ غَافِلِيْنَ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit). dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami).
(Al-Mukminûn, 23:17)
Menurut ‘Abdurrazzâq Al-Kâsyânî, tharîqah adalah jalan khusus yang ditempuh oleh para Sâlik dalam perjalanan mereka menuju Allâh, yaitu dengan melewati jenjang-jenjang tertentu dan meningkat dari satu maqâm ke maqâm yang lain.
Dalam bukunya yang berjudul Al-Kibrîtul Ahmar wal Iksîrul Akbar Habîb ‘Abdullâh bin Abû Bakar Al-‘Aidarûs radhiyallâhu ‘anhu menyebutkan:
Menurut para sufi, syariat adalah ibarat sebuah kapal, tarekat (tharîqah) adalah lautnya dan hakikat (haqîqah) adalah permata yang berada di dalamnya. Barang siapa menginginkan permata, maka dia harus naik kapal kemudian menyelam lautan, hingga memperoleh permata tersebut.
Kewajiban pertama penuntut ilmu adalah mempelajari syariat. Yang dimaksud dengan syariat adalah semua perintah Allâh dan Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam, seperti wudhu, shalat, puasa, zakat, haji, mencari yang halal, meninggalkan yang haram dan berbagai perintah serta larangan lainnya. Seyogyanya seorang hamba menghiasi lahirnya dengan pakaian syariat hingga cahaya syariat tersebut bersinar dalam hatinya dan kegelapan insâniyyah sirna dari hatinya. Akhirnya dia dapat menempuh tarekat dan cahaya tersebut dapat selalu bersemayam dalam hatinya.
Tarekat (tharîqah) adalah pelaksanaan takwa dan segala sesuatu yang dapat mendekatkanmu kepada Allâh, seperti usaha untuk melewati berbagai jenjang dan maqâm. Setiap maqâm memiliki tarekat tersendiri.
Setiap guru sufi memiliki tarekat yang berbeda. Setiap guru akan menetapkan tarekatnya sesuai maqâm dan hâl-nya masing-masing. Di antara mereka ada yang tarekatnya duduk mendidik masyarakat. Ada yang tarekatnya banyak membaca wirid dan mengerjakan shalat sunah, puasa sunah dan berbagai ibadah lainnya. Ada yang tarekatnya melayani masyarakat, seperti memikul kayu bakar atau rumput serta menjualnya ke pasar dan kemudian hasilnya ia dermakan. Setiap guru memilih tarekatnya sendiri.
Adapun hakikat adalah sampainya seseorang ke tujuan dan penyaksian cahaya tajallî, sebagaimana ucapan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam kepada Hâritsah, “Setiap kebenaran ada hakikatnya, lalu apakah hakikat keimananmu?” Hâritsah menjawab, “Aku palingkan diriku dari dunia sehingga batu dan lumpur, emas maupun perak, sama saja bagiku. Di siang hari aku berpuasa, sedangkan di malam hari aku bergadang (shalat malam).”
Keteguhan Hâritsah dalam memegang agama Allâh serta menjalankan perintah-Nya adalah syariat. Kehati-hatian dan semangatnya untuk beribadah (bergadang) di malam hari, haus di siang hari dan berpaling dari segala keinginan nafsu adalah tarekat. Sedangkan tersingkapnya berbagai keadaan akhirat kepada Hâritsah adalah hakikat.
Dalam sebuah kajian di kota Solo, Jawa Tengah, Habîb ‘Umar bin Muhammad bin Sâlim bin Hafidz, telah menjelaskan sejarah terbentuknya tharîqah tersebut. Berikut saduran ceramah ilmiah beliau:
Jika berbicara tentang tharîqah berarti kita sedang membicarakan inti sari dan ruh Islam serta tujuan akhir seorang Muslim di dalam hubungannya dengan Allâh Subhânahu Wa Ta’âlâ.
Sebelum membahas lebih jauh permasalahan ini, pertama-tama kita harus mengetahui bahwa wahyu yang diturunkan Allâh kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam berisi hukum-hukum yang berhubungan dengan jasmani dan hukum-hukum yang berhubungan dengan permasalahan hati; bagaimana kondisi hatinya terhadap Allâh di saat dia beramal.
Hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan anggota tubuh ini selanjutnya dikenal dengan nama fiqih atau fiqhudh dhâhir. Sedangkan hukum-hukum yang berhubungan dengan sifat-sifat hati, selanjutnya disebut fiqhul Bâthin, yang oleh sebagian besar umat Islam dikenal dengan nama tasawuf.
Ayat-ayat yang membahas perbuatan anggota tubuh melahirkan beberapa madzhab dalam ilmu fiqih. Sedangkan ayat-ayat yang membahas berbagai permasalahan hati serta metode penyucian hati, melahirkan sejumlah tharîqah dalam tasawuf.
Sebenarnya dalil atau landasan pendirian madzhab dan tharîqah tersebut sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam.
Pada saat itu, para sahabat menerima seruan dakwah Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam dengan hati yang suci dari gejolak nafsu, bersih dari berbagai keinginan duniawi, serta kosong dari tujuan-tujuan yang tidak benar dan berbagai sifat tercela.
Setiap saat mereka berusaha memperkuat pondasi tauhid yang terdapat di dalam hatinya dengan mengerjakan berbagai ibadah, seperti shalat, doa dan berbagai amal saleh lain yang diajarkan oleh Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam. Kita pun menyaksikan bagaimana mereka berijtihad di hadapan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam tentang sebuah persoalan dan Rasul membenarkan kedua ijtihad tersebut. Kita juga melihat, ada sahabat yang menjadikan puasa sunah sebagai ibadah pokoknya, ada pula yang menjadikan shalat malam sebagai ibadah pokoknya dan ada pula yang berlama-lama ketika sujud dengan memperbanyak doa yang diajarkan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam diberbagai kesempatan sebagai ibadah pokoknya. Kondisi-kondisi semacam inilah yang menjadi landasan munculnya berbagai madzhab dalam fiqih dan tharîqah dalam tasawuf.
Setelah agama Allâh (Islam) tersebar luas di bumi Allâh, sebagaimana telah dijanjikan oleh Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam, maka tersebar pula ilmu-ilmu fiqih yang menjelaskan berbagai hukum dhâhir dan ilmu-ilmu tasawuf yang menjelaskan metode mengolah hati menjadi ihsân, yaitu senantiasa memperhatikan bagaiman hubungan hati dengan Allâh yang Maha Penyayang dan Maha Mulia. Dalam kondisi semacam ini di tengah-tengah masyarakat tumbuh berbagai madzhab dan tharîqah tersebut.
Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa tharîqah adalah sebuah metode atau sistem khusus yang digunakan oleh seseorang dalam menempuh jalan menuju Allâh.


MAKNA HADHROH

Dari segi bahasa, hadroh terambil dari kata hadhoro – yuhdhiru – hadhron – hadhrotan yang berarti kehadiran, namun didalam istilah kebanyakan orang hadhroh ini di artikan sebagai irama yang di hasilkan oleh bunyi rebana.

Dari segi istilah/definisi, hadhroh menurut tasawuf adalah suatu metode yang bermanfaat untuk membuka jalan masuk ke “hati”, karena orang yang melakukan hadhrah dengan benar terangkat kesadarannya akan kehadiran Allah yang senantiasa hadir dan senantiasa meliputi, pada asalnya hadhroh ini merupakan kegiatan para sufi yang biasanya melibatkan seruan atas sifat – sifat Alloh yang maha hidup ( Al-Hayyu ), dapat dilakukan sambil berdiri, berirama dan bergoyang dalam kelompok- kelompok. Sebagian kelompok berdiri melingkar, sebagian berdiri dalam barisan, dan sebagian duduk berbaris atau melingkar, pria di satu kelompok, dan wanita di kelompok lain yang terpisah. Kebanyakan tarekat sufi mempraktikkan dzikrullah dengan berirama atau menyanyi, dengan sekali-sekali menggunakan instrumen musik, terutama genderang. Musik telah memasuki praktik tarekat sufi secara sangat terbatas, dan sering untuk jangka waktu sementara di bawah tuntunan seorang syekh sufi. Di anak-benua India, kaum sufi mendapatkan bahwa orang Hindu sangat menyukai musik, sehingga mereka pun menggunakan musik untuk membawa mereka ke jalan kesadaran-diri, dzikrullah dan kebebasan yang menggembirakan. Maka walaupun peralatan musik digunakan untuk maksud dan tujuan itu, namun pada umumnya mereka dianggap sebagai penghalang yang tak perlu. Kebanyakan bait- bait yang dinyanyikan adalah mengenai jalan rohani dan tak ada hubungannya dengan nyanyian biasa. Sering merupakan gambaran tentang bagaimana membebaskan diri dari belenggunya sendiri dan bagaimana agar terbangun. Jadi, nyanyian dan tarian sufi merupakan bagian dari praktik menumpahkan kecemasan duniawi dan menimbulkan kepekaan dalam diri dengan cara sama , (mendengar).
Dalam konteks sufi, sama' ini artinya segala sesuatu yang berhubungan dengan musik atau nyanyian yang dimaksudkan untuk peningkatan rohani dan penyucian-diri. Tidak ada arti lain yang dikandung semua praktik ini selain menimbulkan suatu keadaan netral dalam diri sendiri dan pembukaan hati. Dan, tidak dilakukan demi hiburan sebagaimana musik biasa yang ritmis dan menggairahkan secara fisik. Tarian itu adalah untuk Allah, bukan untuk orang lain. Sering kita dapati bahwa bilamana seorang syekh sufi sejati tidak hadir, musik dan nyanyian tak dapat dikendalikan lagi dan melenceng dari tujuan yang diniatkan. Musik adalah alat, dan bila dipegang oleh orang yang tahu bagaimana menggunakannya, akan bermanfaat untuk tujuan yang diniatkan. Apabila sebaliknya maka ia bisa lepas kendali dan menyebabkan kerusakan. Kesimpulannya adalah hadhroh itu merupakan kegiatan/ praktik membuka jalan masuknya hidayah Alloh kedalam hati dengan jalan mandengarkan syair – syair religius atau keagamaan dengan diiringi alunan irama – irama yang di hasilkan oleh instrumen alat-alat musik terutama rebana.
Hadhroh pertama kali di perkenalkan oleh seorang tokoh tasawuf yang sampai sekarang karya – karyanya masih di perbincangkan oleh pakar – pakar serta sarjana – sarjana di dunia timur maupun barat, beliau adalah Jalaluddin Rumi Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma). Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207, Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin itu tidak meleset. Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru beruisa lima tahun.Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain.
Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun. Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia. Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang mempunyai murid sebanyak 4.000 orang. Sebagaimana layaknya seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan menjadi tumpuan ummat untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin/Syamsi Tabriz. Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing—yakni Syamsi Tabriz—ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari. Sultan walad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya. ”Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya. Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar lagi. Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan walad untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya. Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi. Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz. Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan
Anda ingin bisa memainkan alat music Hadroh ? Inilah Rumus Dasar Hadroh untuk mengiringi anda melantunkan Syair-syair Sholawat.

RUMUS DASAR HADROH

Rumus A
1. DT DDD / {TDT DDD / ( diketuk ber xx mengikuti lagu )}
2. TD TTTT TTTD DDDD DDDD TTT. D. TTTT TTT. D. TTTD
3. T.T.T. TTTT TTT. D. TTTD TTT. D. TTTD TTT. D. TTTD (be xx mengikuti lagu)
4. ~D. TTT. DD TTT. D (Penutup)

Rumus B
1. D.T DDDT / {TDTT DDDT / ( diketuk ber xx mengikuti lagu )}
2. TDTT TTTT TDDD DDDD DDTT TTDT TTTT TTDT TD
3. T. TTTT TTTT TTDT TDTT TTDT TDTT TTDT TD (ber xx mengikuti lagu)
4. ~DT TDDT TD (Penutup)


Ket : Rumus di atas adalah rumus dasar (belum diterapkan pada lagu), apabila akan diterapkan pada lagu maka rumus tersebut diketuk dengan mengikuti panjang pendeknya lagu, dengan cara dikurangi atau ditambah. Ketentuannya, untuk rumus A (yang ditambah atau dikurangi) adalah pada ketukan TTT. D. TTT D dan untuk rumus B pada ketukan TTDT TDTT.


CONTOH PENERAPAN PADA LAGU

Lagu Assalamu’alaik : Baris nomor 3 diketuk 2x, baris nomor 4 dikurangi 1
Lagu Yaa Nabi Salam ’Alaik : Baris nomor 4 ditambah 1.
Lagu Yaa Imamarrusli : Baris nomor 3 diketuk 2x, baris nomor 4 dikurangi 1.
Lagu Thola’al Badru : Baris nomor 3 dikurangi 1.


CONTOH VARIASI KETUKAN AWALAN LAGU

D / D DDD / T DDD...
D / TD TDD / T DDD...
D / D. D. D TT D / T DDD...
D / DD D / T DDD...
D / D D DD / T DDDT...
D / TD T. DD / T DDDT...
D / D. D. D TT TD / T DDDT...
D / DD D / T DDDT...


CONTOH KETUKAN BASS

D / D DD D
D / DD DD D
D / D DD D
D / D DD DD D D
D / D D D

Ket : Untuk ketukan awalan Bas, mengikuti ketukan awalan pada rumus A.



RUMUS DASAR HADLROH ( pelan )

ASSALAMU’ALAIK

A. 1. T. D. TT TD ( diketuk ber xx mengikuti lagu )
2. T. D. TT TDD TT TT T TT TD D DD DD D DD DD
T. TT D TT TT T TT TT D TT TD
B. 1. T. DT. TD ( diketuk ber xx mengikuti lagu )
2. T. DT. T. DDT T. TT T T. DD D D DD D DDT
TT D TT T TT TT TT D TT TD


MAULAYA

A. 1. D/ DD. T. TT. TD / ( diketuk ber xx mengikuti lagu )
2. DD. T. TT. TDD TT TT T TT TD D DD DD D DD DD
T. TT D TT TT T TT TT D TT TD
3. T. TT D TT TT T TT TT D TT TD T TT TT D TT TD
T TT TT D TT TDD TT TT D TT TD
B. 1. D/ DD. T. TD / ( diketuk ber xx mengikuti lagu )
2. DD. T. T. DD T T. TT T T. DD D D DD D DDT
TT D TT T TT TT TT D TT TD
3. T.T.T. DT T TT TT TT D TT TD TT TT D TT TD
TT TT D TT T DD TT TT D TT TD


EKSTRA BONUS VARIASI

1. A. D/ TD TDD / ( Huwannur, Ala Ya Rosulalloh )
B. D/ TD T. DD /
2. A. DD/ TT TT T. DD / ( Ya Madihan )
B. DD/ TT T TT TDD /
3. A. D/ TD T DDD / TT TT TD ( Ya Robbana’tarofna )
B. D/ TD T. DD DD / TT T TT TD
4. A. D/ T DT DT DD / ( Saaltulloh Barina )
B. D/ TD TD T. D DD /
5. A. DT / T DDX ( Ya Badrotim )
B. DT / T. DD DX
6. A. DTT. DTTD TT XX ( Lagu bebas )
B. D. TT. D. TT. TD. TT. XX.

Sabtu, 15 Juni 2013




malam kamis minggu depan , Grup Sholawat Majmu' Sirojuttholibin bertempat di rumah bapak ustadz Siswanto (jalan pangkalan jati ujung, kec.cinere kota depok) dalam rangka Tawaqquf sementara menyambut bulan suci Romadhon dan acara bulanan yaitu pembacaan manaqib Jawahirul Ma'ani . dimulai ba'da isya sampai selesai . Terima kasih